Bermain di Bukit Senja

Update Terakhir: 11 September 2022 Oleh Abdul Jalil

Catatan selanjutnya aku ingin bercerita tentang salah satu teman satu kontrakan. Dia juga sama sepertiku masuk fisika melalui jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Kami berdua sudah saling mengenal sejak pertama kali bertemu di masjid kampus Universitas Diponegoro (Undip).

Laki-laki kelahiran Pemalang, 17 September 1995  orang yang sepertinya selalu bahagia. Laki-laki yang memiliki karakter santai namun keras dalam menuju tujuan utamanya. Kami sering bermain bersama walaupun tidak banyak kisah yang mampu aku perbuat. Hanya kisah-kisah kecil bersamanya saat memang dia ada waktu luang.

Kesibukannya sebagai mahasiswa yang mengambil studi ilmu geofisika dan juga mendapat amanah untuk menjadi wakil kelompok studi geofisika (KS-Geofisika) periode 2016-2017. Membuat dia lebih senang untuk tidur di dalam kamar dan menelepon kekasihnya. Hampir setiap hari ada saja bahan obrolan ketika sedang menelepon.

Dan catatan lain tentangnya itu. Jika ada jam kuliah aktif menurut aku sendiri, dia merupakan tipe yang suka menunda-nunda sesuatu hingga batas waktu yang telah ditentukan. Terkadang juga melebihi batas waktu. Namun, kekurangannya itu malah menjadikan pribadinya tangguh. Arti kata tangguh disini jangan sampai disalah artikan ya. Bisa-bisa akan bermakna lain.

Dapat mengenalnya juga bukan suatu kebetulan. Karena sesungguhnya kehidupan ini sudah ada yang mengaturnya dengan sebaik-baiknya. Aku banyak belajar darinya tentang bagaimana menyikapi suasana hati yang sedang tidak bersahabat.

Dari keyakinannya aku mendapatkan satu arti kehidupan yang mungkin memiliki definisi yang tidak jauh berbeda dengan kebanyakan pada umumnya.

Muhamad Syarif Muhtadi (Pemalang) dan Abdul Jalil (Grobogan)

selagi masih muda, bersenang-senang dengan tujuan utama hidup ini itu membuat kehidupan menjadi lebih hidup”.  Menjadi hal yang di rasa susah adalah sebuah tantangan kehidupan. Karena tantangan itu adalah bagian dari kehidupan ini.

Tentu, aku juga belajar dari dia dan orang lain. Aku masih memiliki banyak hal yang ingin aku sampaikan tentangnya untuk kalian semua yang ini membacanya lebih jauh ke bawah.

Jauh memang aku tertinggal darinya jika catatan ini membahas tentang kuliah. Karena kami berbeda prinsip ketika mengerjakan ujian atau tugas kuliah selama ini. Dari segi teknologi yang di gunakan sudah jelas berbeda. Lebih menerima keadaan yang ada dan tidak aku harus menuntut untuk ada.

Banyak yang mempunyai nilai itu segalanya saat ujian itu terlaksana. Jadi, segalanya akan di lakukan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Rasanya memang menyedihkan diriku ini namun tidak ingin sekali aku hanya melihat satu sudut pandang kehidupan ini secara linier. Karena aku masih yakin banyak sudut pandang kehidupan yang belum aku jalani selama ini.

Peluangku masih ada begitu pun dengannya. Jalan kehidupan kuliahnya memang lebih cepat dari padaku. Dirasa lambat sekali aku merasakan kemenangan. Untuk sekarang jalan itu mudah untuknya sedangkan aku harus berjuang lebih keras daripada siapa pun.

Tidak jalan lagi selain menghadapinya sendiri. Dirinya dan mereka yang lebih dahulu bahagia karena kehidupan ini tinggal menunggu kapan kesedihannya datang. Entahlah karena aku hanya sedang menghibur diriku ini yang sedang ingin bahagia.

Dia juga memiliki cita-cita ingin melanjutkan kuliah S2 ke Singapura, tidak buruk untuk keinginannya itu. Sebagai temannya aku hanya bisa mendoakannya yang terbaik selagi masih dapat melakukannya dengan duduk termenung.

“ Kami datang bersama-sama namun saat kami pulang itu sendiri-sendiri ”. Kenyataan hidup ini memang di rasa tidak adil, jadi aku harus berusaha untuk menerimanya dengan kekuatan hati terdalam untuk tetap dapat bertahan di kampus bisnis ini.

Aku memang bukan mereka yang begitu mudah mendapatkan kemudahan kehidupan ini. Entah kapan waktu akan berbalik untuk dapat memihak keadaanku ini. Untuknya memang kasihan juga di tuntut untuk segera lulus karena biaya kuliah dan kehidupannya yang jauh lebih tinggi dariku.

Tiga kali lipat lebih jika aku memperkirakannya. Bagiku wajar-wajar saja jika itu memang cambuk utamanya. Beda lagi dengan mahasiswa kaum bidikmisi. Itu akan  menjadi cerita lain lagi.

Kami sama-sama berjuang untuk dapat keluar dari kehidupan kampus dengan sebaik-baiknya. Tidak ingin meninggalkan kesan yang buruk bagi kehidupan yang bisa dibilang rendahan (dunia lain). jadi, siapapun yang dari kami keluar lebih dulu. Harapannya jangan lupakan yang belum mendapat kesempatan seperti dirinya. Hanya itu saja dariku.

Artikel ini telah terbit pada tanggal 12 Juli 2016 14.25 WIB

Salam,

TTD Abdul Jalil

About Abdul Jalil

Writing every day for happiness

View all posts by Abdul Jalil →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *